Kemacetan, Musuh Lama Jakarta Menuju Kota Kelas Dunia: Peringatan Kearley Indonesia
Jakarta — Di tengah ambisi menjadikan Jakarta sebagai bagian dari 20 kota global terdepan di dunia, sebuah peringatan penting datang dari lembaga riset dan konsultan perkotaan, Kearley Indonesia. Dalam laporan terbarunya bertajuk “Urban Future Outlook: Jakarta 2045”, Kearley menyebut kemacetan lalu lintas sebagai hambatan utama yang bisa menggagalkan langkah Jakarta menuju transformasi global city.
Meski telah menunjukkan kemajuan dalam digitalisasi layanan publik dan pengembangan kawasan hijau, kondisi lalu lintas Jakarta dinilai masih menjadi titik kritis yang belum teratasi secara menyeluruh. Laporan ini menempatkan kemacetan Jakarta sebagai salah satu yang terburuk di Asia, bersaing dengan kota-kota seperti Manila, Mumbai, dan Bangkok.
🚦 Kemacetan Jadi Penghambat Daya Saing
Menurut Maya Ratnasari, Urban Analyst Kearley Indonesia, tingkat kemacetan Jakarta telah menimbulkan kerugian ekonomi mencapai Rp100 triliun per tahun, terutama akibat waktu produktif yang terbuang, konsumsi bahan bakar berlebih, dan tekanan terhadap kesehatan masyarakat.
“Waktu tempuh yang panjang, ketergantungan pada kendaraan pribadi, serta minimnya integrasi transportasi publik menjadi tantangan struktural yang harus segera dibenahi. Tanpa perbaikan signifikan, Jakarta akan tertinggal dari kota-kota lain yang sudah lebih agresif membenahi mobilitasnya,” jelas Maya.
Padahal, dalam indikator penilaian kota global—seperti livability, accessibility, dan sustainability—mobilitas perkotaan merupakan aspek yang sangat menentukan.
🚇 Transportasi Publik Sudah Membaik, Tapi Belum Merata
Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya telah mengambil berbagai langkah untuk membenahi transportasi, mulai dari pembangunan MRT, LRT, hingga integrasi Trans Jakarta dan JakLingko. Namun Kearley menilai bahwa pemerataan akses dan kenyamanan masih menjadi masalah besar, terutama di wilayah Jakarta Utara, Timur, dan sebagian daerah perbatasan.
Kondisi ini membuat banyak warga tetap mengandalkan kendaraan pribadi sebagai moda utama, terutama sepeda motor dan mobil pribadi, yang memperparah kemacetan di jam-jam sibuk.
“Yang kita perlukan bukan hanya infrastruktur, tapi perubahan pola pikir dan kebijakan yang mendorong masyarakat mau beralih ke transportasi umum,” tambah Maya.
💡 Rekomendasi Kearley: Jakarta Perlu “Revolusi Mobilitas”
Dalam laporan setebal 87 halaman itu, Kearley menawarkan 5 rekomendasi utama untuk mengatasi kemacetan sebagai bagian dari strategi menuju kota global:
Perluasan jaringan transportasi publik ke wilayah pinggiran dan Bodetabek
Penerapan kebijakan “congestion pricing” atau tarif kemacetan di ruas-ruas padat
Optimalisasi data lalu lintas real-time dan kecerdasan buatan untuk pengaturan lampu lalu lintas
Revitalisasi trotoar dan jalur sepeda untuk mendorong moda aktif
Insentif bagi perusahaan yang menerapkan sistem kerja fleksibel atau remote
Kearley juga mendorong Jakarta mengadopsi pendekatan yang sudah berhasil di kota-kota seperti Seoul, Singapura, dan Amsterdam, yang secara progresif membatasi kendaraan pribadi dan mengutamakan pejalan kaki serta transportasi publik.
🏙️ Ambisi Jakarta Jadi Top 20 Global City
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebelumnya memang telah menyatakan target ambisius untuk menjadikan kota ini masuk ke dalam 20 besar kota global paling kompetitif dan berkelanjutan pada 2045. Target ini sejalan dengan rencana jangka panjang pasca-pemindahan ibu kota negara ke Nusantara.
Pemprov mengklaim bahwa kemajuan sudah terlihat dalam banyak sektor, seperti:
- Transformasi digital lewat aplikasi JAKI
- Pertumbuhan ekosistem startup
- Peningkatan ruang terbuka hijau
- Sertifikasi kota ramah lingkungan
Namun Kearley menekankan bahwa tanpa solusi sistemik terhadap kemacetan, semua prestasi itu akan terhambat oleh satu masalah mendasar: mobilitas yang tidak efisien.
🚶 Apa Kata Warga?
Warga Jakarta pun mengamini masalah ini. “Saya pakai motor ke kantor karena kalau naik bus bisa makan waktu 2 jam lebih. Padahal jaraknya cuma 12 kilometer,” kata Rizki (28), karyawan swasta yang tinggal di Cilangkap.
Sementara itu, Ratna (41), seorang ibu rumah tangga, berharap ada lebih banyak jalur aman untuk pejalan kaki dan sepeda. “Jakarta sekarang punya jalur sepeda, tapi belum nyambung antarwilayah. Kadang malah dipakai parkir motor,” ujarnya.
🔚 Jalan Panjang Menuju Kota Kelas Dunia
Jika ingin bersaing dengan kota-kota global seperti Tokyo, Paris, atau Toronto, Jakarta harus berani mengambil langkah tegas untuk mengurai kemacetan. Bukan hanya soal membangun jalan atau jembatan, tapi menciptakan ekosistem mobilitas yang adil, efisien, dan berkelanjutan.
Sebagaimana disimpulkan dalam laporan Kearley:
“Masa depan Jakarta bukan hanya dibangun dari gedung-gedung tinggi dan aplikasi canggih, tapi dari bagaimana warganya bisa bergerak bebas, nyaman, dan setara di jalanan kotanya sendiri.”